Setelah sekian lama larut dalam rutinitas pekerjaan dan kegiatan tulis menulis sedikit terlupakan, maka pada malam ini atas kuasa dari-Nya kembali saya diberikan kesempatan untuk sedikit menuangkan uneg-uneg yang ada di pikiran.
Menulis merupakan satu aktivitas yang mulia (tapi semua tergantung dari niatnya). Dari menulislah kemudian timbul satu ide baru, satu pemikiran baru, satu peradaban baru. Dari menulislah orang bisa saling berbagi ilmu, dan akan menjadi jariyah untuk nanti di akhirat, asal tulisan-tulisan tersebut tulisan tulisan-tulisan yang positif dan konstruktif.
Maka marilah kita galakkan gerakan
"Satu Hari, Satu Tulisan".
Jumat, 07 Agustus 2009
Jumat, 22 Mei 2009
Tionghoa-Pribumi, Kapan Kembali Seperti Dulu ?
Dulu, hubungan yang terjalin antara orang Tionghoa dengan penduduk pribumi bisa terjalin dengan harmonis, tidak seperti sekarang ini. Kalau sekarang, sepertinya ada gap antara orang Tionghoa dengan penduduk Pribumi, gap yang begitu jauh.
Pada tahun 1293 Kaisar Kubilai Khan dari Dinasti Yuan (1280-1376) memerintahkan pasukannya untuk menyerbu Pulau Jawa dan memberikan pelajaran kepada Raja Kartanegara dari Singosari yang dianggap telah membangkang. Ketika mereka datang ke Pulau Jawa, mereka menemukan koloni-koloni pemukiman etnis Tionghoa di daerah Pesisir Pulau Jawa. Kebanyakan dari mereka berasal dari Propinsi Hokkian di daratan Tiongkok. Mereka hidup damai, berdampingan dengan para penduduk pribumi, bahkan banyak juga dari mereka yang kemudian kawin dengan orang-orang dari penduduk pribumi. Orang-orang dari Hokkian inilah yang kemudian mengajarkan cara-cara pembuatan gerabah, seperti genting, batu bata ataupun produk-produk gerabah yang lain.Pada abad ke-15, kembali datang utusan dari Dinasti Ming (1368-1643), yaitu Laksamana Cheng Ho beserta dengan pasukannya. Mereka ini adalah utusan dari Cina untuk berkunjung kepada Raja Majapahit, mengunjungi para imigran dari Cina di Indonesia, sekaligus untuk menyebarkan ajaran agama Islam di Pulau Jawa. Sebagian dari utusan Dinasti Ming ini ada juga yang akhirnya menetap di Jawa dan banyak juga yang akhirnya menikah dengan orang-orang Jawa.
MASA SETELAH KEDATANGAN KOLONIAL BELANDA
Hubungan harmonis yang dulu pernah terjalin antara orang Tionghoa dengan penduduk pribumi mulai renggang semenjak kedatangan kolonialime Belanda. Dengan politik Devide et Emperanya, kolonial Belanda mencoba untuk memecah belah penduduk Indonesia, tentunya dengan mengangkat berbagai macam isu yang potensial untuk terjadinya perpecahan.
Penjajahan yang telah dilakukan oleh kolonial Belanda telah menimbulkan reaksi dari berbagai macam kalangan, termasuk dari para penduduk Tionghoa di Indonesia. Karena adanya perlawanan ini, maka kemudian pemerintah kolonial Belanda menetapkan sebuah peraturan untuk menangkap semua orang Tionghoa yang mencurigakan dan mengembalikannya ke Tiongkok ataupun mempekerjakan mereka di Tanjung Harapan.
Puncak kekejaman pemerintah kolonial Belanda terjadi ketika pada tahun 1740 pemerintah kolonial Belanda melakukan pembantaian besar-besaran terhadap orang Tionghoa. Tercatat ada lebih dari 10.000 orang Tionghoa yang meninggal pada waktu terjadinya pembantaian tersebut.
Setelah kejadian tersebut, kemudian pemerintah kolonial Belanda menetapkan aturan bahwa orang Tionghoa tidak boleh tinggal satu wilayah dengan orang pribumi, sehingga muncullah daerah-daerah yang dinamakan dengan "Pecinan". Semenjak kejadian itulah maka keharmonisan antara orang Tionghoa dengan penduduk Pribumi semakin pudar dan menghilang, dan sekarang ini bisa kita rasakan betapa gap atau jarak antara orang Tionghoa dengan penduduk pribumi begitu jauh.
GAP TIONGHOA-PRIBUMI TERUS BERLANJUT SAMPAI SEKARANG
Gap yang telah dibentuk semenjak jaman penjajahan Belanda tersebut terus berlangsung sampai sekarang ini dan Gap ini terasa semakin besar ketika kemudian pada tahun 1998 terjadi kerusuhan dari Jakarta dan di Solo, penjarahan, penyiksaan bahkan sampai pemerkosaan telah dilakukan penduduk pribumi terhadap orang-orang Tionghoa. Sungguh sangat mengerikan ketika kita mencoba untuk membayangkan kembali kejadian pada tahun 1998 tersebut.
Kondisi tersebut terjadi karena memang tidak ada jalinan komunikasi dan hubungan yang baik antara orang Tionghoa dengan penduduk pribumi. Penduduk pribumi merasa bahwa orang Tionghoa adalah orang lain, bukan bagian dari mereka, sementara itu orang Tionghoa juga merasa bahwa penduduk pribumi adalah orang lain, bukan bagian dari mereka sehingga terjadilah korusuhan tersebut.
TERUS, BAGAIMANA SOLUSINYA
Tidak ada yang dapat dilakukan kecuali kita berusaha untuk mencoba membuka diri, memcoba untuk terus memahami bahwa Indonesia memang ber-Bhineka, Indonesia memang berbeda-beda, bermacam-macam suku dan etnis ada di dalamnya, termasuk Tionghoa dan Tionghoa juga telah mencatatkan sejarah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Selain laksamana Cheng Ho, sebagai besar dari Wali Songo yang berjasa dalam menyebarkan agama Islam di Indonesia adalah etnis Tionghoa, atau paling tidak adalah keturunan Tionghoa. Sebut saja Sunan Bonang yang konon nama aslinya adalah Bon Ang, Sunan Kali Jaga atau Gan Si Cang, Sunan Ngampel atau Bong Swi Hoo, Sunan Gunung Jati atau Toh A Bo dan beberapa penyebar agama yang lain yang konon mereka berasal dari Champa (Kamboja/ Vietnam), Manila dan Tiongkok.
Kita penduduk pribumi yang mayoritas beragama Islam perlu untuk berterima kasih kepada orang-orang Tionghoa karena merekalah yang telah menyebarkan agama Islam di negeri kita dan juga telah mengajarkan berbagai macam ilmu untuk orang Indonesia. Begitu juga dengan orang Tionghoa, hendaknya juga membuka diri untuk melakukan interaksi yang lebih intens dengan orang-orang yang ada di sekitarnya sehingga selain merasa ber-Bhinneka, kita juga akan merasa sebagai satu kesatuan, satu tubuh, yang harus saling menjaga antara yang satu dengan yang lainnya.
Marilah kita sedikit merenung dan melakukan flash back ke beberapa abab yang telah berlalu, bagaimana dulu ada keharmonisan antara orang Tionghoa dengan penduduk pribumi, bahkan banyak orang Tionghoa yang akhirnya menikah dengan penduduk pribumi dan menghasilkan keturunan dari penduduk pribumi.
Mari ciptakan kembali keharmonisan yang dulu ada, mencoba untuk saling menghormati, saling menghargai dan berempati terhadap yang lain.
Rumah susun, sudahkan menjadi solusi yang tepat ?
Kajian kritis tentang pembangunan rumah susun di perkotaan
(Dalam penulisan)
(Dalam penulisan)
Langganan:
Postingan (Atom)